Thursday, January 7, 2021

PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT

 

Ada empat dimensi yang penting bagi pembangunan berkelanjutan (Rozemeijer, 2001, hal 15.):

(1)   CBT harus ekonomis: pendapatan melebihi biaya;

(2)   CBT harus berkelanjutan secara ekologis: lingkungan tidak harus mengurangi nilai;

(3)   harus ada pemerataan biaya dan manfaat antara semua peserta dalam kegiatan ini, dan

(4)   konsolidasi kelembagaan harus dipastikan: organisasi yang transparan, diakui oleh semua pemangku kepentingan, harus dibentuk untuk mewakili kepentingan seluruh anggota komunitas dan untuk mencerminkan kepemilikan mereka.

Sementara, proyek CBT sering dibuat dalam konteks ekowisata (misalnya Kontogeorgopoulos, 2005; Snyder & Sulle, 2011), mungkin niche yang menjanjikan untuk mengembangkan program CBT adalah pariwisata budaya, yang diidentifikasi oleh United Nation World Tourism Organization (UNWTO, 200 1) sebagai salah satu pasar pertumbuhan utama pariwisata global. Kekuatan utama CBT, terutama dalam wisata budaya, terletak pada potensinya untuk memberdayakan komunitas pedesaan dan untuk pembangunan dan pemberantasan kemiskinan (Manyara & Jones, 2007). Kegiatan CBT dirancang dan dilaksanakan melalui konsensus komunitas secara terpusat (top-down) Agar mengurangi efek negatif dan gangguan budaya pedesaan.

Program wisata ini juga dapat meningkatkan kesempatan bagi pertemuan antara komunitas dan wisatawan. Untuk alasan ini, UNWTO dan UNESCO telah menentukan cultural dan heritage tourism sebagai bentuk pembangunan berbasis komunitas untuk negara-negara berkembang. Bagi banyak orang, pariwisata budaya (berkelanjutan) dianggap identik dengan CBT dengan melibatkan komunitas lokal (Lamers, 2001). CBT menekankan agar proyek-proyek dan produk itu difokuskan pada komunitas local (Dan warisan alam dan budaya), meskipun, dalam prakteknya, mereka jarang dikontrol dan dikelola oleh komunitas itu - "pariwisata berupsat pada komunitas " dalam kenyataan lebih rumit.

 

Meskipun Murphy (1985) berpendapat bahwa komunitas harus memainkan peran integral dalam pengembangan pariwisata dan dia mengusulkan pendekatan yang menekankan kontrol komunitas, Namun, masih diperdebatkan bagaimaan perencanaan berkelanjutan harus dilaksanakan. Konsensus dan control merupakan masalah utama (World Wildlife Fund, 2001), dan sifat politik dari proses perencanaan terus menjadi kendala (Smith, 2003). Pendekatan pluralistik kepada komunitas mengasumsikan bahwa semua pihak berkesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik. Jamal dan Getz (1995) memberikan analisis kritis pada kolaborasi dan kerjasama, dengan menyatakan bahwa ketidakseimbangan kekuasaan sering menghambat keberhasilan Kolaborasi itu. Reed (1997) mengemukakan bahwa hubungan kekuasaan memang merupakan bagian integral dalam memahami CBT dan keberhasilan dari upaya kolaborasi itu.

Meski masih sedikit dari komunitas itu yang memiliki akses yang sama terhadap sumber daya politik dan ekonomi, terutama pada politik, ekonomi dan kelompok sosial kurang beruntung (Snyder & Sulle, 2011). CBT dapat menawarkan komunitas seperti kesempatan untuk penentuan nasib politik sendiri yang lebih besar, tetapi hanya jika kontrol lokal dapat diperluas.

BERSAMBUNG KLIK DISINI

No comments:

Post a Comment